Hegemoni negara-negara kaya di segala bidang terhadap negara-negara
miskin dilestarikan melalui sesat pikir di bidang industri (baca:
industi manufaktur), dan dilanjutkan dengan penyesatan piker tentang
Ekonomi Islam atau Syariah yang kita ciptakan sendiri. Ini amat penting
kembali kita persoalkan!
Sampai saat ini, jika kita berbicara
ekonomi syariah di Indonesia, selalu dimulai dengan cerita sukses
perbankan syariah, yang diawali dengan berdirinya Bank Muamalat pada
1992, sampai booming sekarang. Akibatnya, kita tergiring untuk
berpendapat bahwa ekonomi syariah adalah perbankan syariah, dan
perbankan syariah adalah ekonomi syariah. Kita tidak sadar kita telah
menggunakan perbankan syariah sebagai paradigma untuk ekonomi syariah.
Ini cara berpikir yang salah, sebab perbankan syariah hanya bagian dari
ekonomi syariah.
Akibatnya ekonomi terkebiri menjadi
berputar-putar pada sektor moneter yang menjadi afiliasi perbankan
syariah, seperti reksa dana syariah, pegadaian syariah, bank perkreditan
rakyat syariah dan asuransi syariah. Penyesatan ini diperparah lagi
oleh tindakan Bank Indonesia sebagai pembina perbankan syariah yang
menamakan festifal perbankan syariah dengan nama Festifal Ekonomi
Syariah.
Dalam pidato pembukaan diskusi dengan kalangan perguruan
tinggi pada Festifal Ekonomi Syariah Febuari 2009, Ketua Umum Ikatan
Ahli Ekonomi Islam, (waktu itu) Dr. Mustafa Erwin Nasution sempat
mengeluhkan tidak adanya diskusi tentang ekonomi riil, antara lain
industri manufaktur dalam festifal itu. Harapan dia sampai kapan pun
tidak akan terjadi selama ada kesalahan paradigma ini. Inti
penyesatannya adalah penggunaan paradigma ekonomi syariah yang salah.
Orang
bijak mengatakan, paradigma dapat kita beri arti suatu kesatuan
prinsip-prinsip dasar yang dipakai untuk membangun ilmu
pengetahuan, yang sudah harus ada sebelum pengetahuan ilmiah itu ada
atau terjadi. Kesalahan kita adalah kita telah membicarakan ekonomi
syariah sebagai ilmu dan kegiatan, sebelum ada kesatuan prinsip-prinsip
dasar yang kita namakan paradigma ekonomi syariah. Karena nafsu kita mau
segera memiliki ilmu dan pelaksanaan ekonomi syariah, secara tidak
sadar kita terpaksa menggunakan paradigma yang bukan prinsip-prinsip
dasar, tetapi menggunakan prinsip parsial ekonomi syariah, karena sistem
Ekonomi Islam secara totalitas belum kita temukan.
Prof. Dr.
Suroso Imam Zadjuli, pakar Ekonomi Islam dari Universitas Airlangga,
dalam makalahnya dalam Festifal Ekonomi Syariah 2009 mengatakan, “Namun
dalam periode berikutnya hingga saat ini belum terdapat satu literatur
pun yang mengemukakan tentang sistem Ekonomi Islam secara totalitas/atau
menyeluruh. Yang ada baru merupakan pembahasan secara parsial saja
seperti halnya zakat, rba, bank Islam dan lain sebagainya.”
Mengapa Dipersoalkan?
Revolusi
Industri memisahkan penduduk dunia menjadi dua golongan: golongan kaya
yang makin kaya karena menyelenggarakan revolusi industri, dan golongan
miskin yang sampai saat ini tidak memiliki memori tentang mukjizat
Revolusi Industri sehingga miskin dan makin miskin. Mujizat ekonomi itu
berupa ditemukannya cara berproduksi hasil revolusi berupa industri
manufaktur yang menggusur industri handicraft dari bidang ekonomi ke
bidang budaya, pendidikan dan pariwisata.
Negara kaya menggunakan
industri manufaktur untuk memajukan ekonominya. Sedangkan negara miskin
seperti Indonesia masih menggunakan industri handicraft untuk
memajukan ekonominya. Akibatnya, Indonesia menjadi miskin seperti
sekarang ini. Pemiskinan ini tidak begitu kita rasakan. Tetapi kalau
kita bandingan nilai tukar rupiah dan mata uang lain, baru terasa. Pada
1975 untuk pertama kali saya ke Jepang. Nilai 1 yen masih Rp 4. Jadi
kalau sekarang harga yen hamper Rp 500, berarti saya jadi miskin hampir
500 kali selama ini.
Industri manufaktur adalah sistem
berprodukasi yang sangat perkasa yang dapat membuat barang apa saja,
dengan bahan apa saja, dan dalam jumlah sesuka hati pelakunya. Ketiadaan
memori pada negara-negara miskin, oleh negara kaya diusahakan lestari
agar hegemoni ekonomi mereka tidak akan terganggu. Usaha pelestarian ini
dilakukan dalam tiga program.
Pertama, pencegahan negara-negara
miskin untuk memiliki kemampuan di bidang industri manufaktur. Untuk itu
diusahakan tidak ada transfer kemampuan dalam industri. Buktinya, kita
hampir 50 tahun memberi kesempatan kepada industri manufaktur asing
untuk membuat televisi di Indonesia. Tetapi bangsa ini tetap tidak mampu
membuat televisi produksi sendiri. Membuat pompa air, kompor gas, alat
pemanas nasi yang sederhana saja kita tidak mampu. Apalagi kalau
berbicara alat transportasi, industri informasi dan pesawat ruang
angkasa.
Program kedua, penjajahan tata pikir. Putera-putera
terbaik dari negara miskin diberi beasiswa untuk dicekoki ilmu
kapitalistik. Kelak jika mereka kembali ke negeri mereka, mereka menjadi
opinion leader dan penguasa untuk melestarikan sistem ekonomi
kapitalis. Kalau tidak jadi penguasa, minimal mereka akan menjadi jinak,
yang akhirnya menjadi permisif terhadap penjajahan ekonomi.
Program ketiga, pemeliharaan terhadap kebanggan hasil produksi handicraft
agar tidak sempat untuk punya keinginan mengetahui industri manufaktur.
Hal ini agar ketiadaan memori tentang industri manufaktur menjadi
lestari. Contohnya, penetapan keris, batik sebagai hasil produksi asli
Indonesia, dan kita merasa dihormat sehingga lupa diri.
Kondisi
terjajah seperti ini akan menjadi lebih lestari lagi bila kita melakukan
penyesatan Ilmu Ekonomi Islam yang kita ciptakan sendiri. Para pakar
Ekonomi Islam di negeri ini harus berpikir lebih cerdas lagi
untuk menemukan paradigma Ekonomi Syariah yang lebih luas supaya dapat
mencakup seluruh aspek kehidupan ekonomi umat Islam, sehingga kelak kita
mampu menghapuskan kemiskinan dan ketiadaan memori tentang industri
manufaktur, dan menjadi bangsa berpenduduk mayoritas Islam terbesar di
dunia yang modern. (Majalah PM/Edisi 38 Tahun 2013)
- Oleh: Bpk. Eddy O.M. Boekoesoe [Peneliti industri modern